Teori. Manusia
membuat teori. Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental. Tentang
hidup. Tentang dunia. Tentang ilmu pengetahuan. Tentang manusia. Tentang Tuhan.
Dan segala lainnya.
Teori adalah pernyataan tentang
hubungan. A statement of relationship. Karena, wahai kawan-kawanku, bukankah
semua yang ada di hidup ini berasal dari hubungan? Ya, benar. Hubungan
sebab-akibat.
Fire burns. Api membakar. That’s
the theory. Showing us the relationship between fire and the combustion. Pasti
ada sesuatu yang menyebabkan munculnya api. Sebab-akibat.
People change. Manusia berubah.
That’s the theory. Showing us the relationship between people and their
changes. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan manusia berubah sifatnya. Lagi-lagi
sebab akibat.
Pada saat saya menulis tulisan
ini, seharusnya saya sedang berada pada ketinggian beberapa ribu kaki di atas
permukaan laut dalam perjalanan dari Jakarta menuju Phnom Penh. Seharusnya.
Tiket sudah di tangan. Barang bawaan telah mapan. Segala rencana telah matang.
Euforia untuk berjalan mengelilingi Asia Tenggara selalu terbayang. Namun
apadaya, Tuhan berkata lain. Tiba-tiba seonggok gigi geraham kupret di mulut
saya terasa ngilu. “Wah, akarnya bengkok, mas”, ujar dokter gigi cantik nan
jelita itu kepada saya yang sedang meringis menahan sakit. “Saya khawatir nanti
masnya malah sakit pas jalan-jalan. Nggak ada yang bisa ngrawat nanti gimana
hayo?”. Seketika saya berhenti meringis. Saya mulai menangis. Miris.
Lalu, apa hubungan ceramah saya
tentang teori di awal post ini dengan cerita batalnya trip saya ke Asia
Tenggara karena sakit gigi? Ya, memang nggak ada. Wong saya ngaco. Toh,
bukankah hidup tidak selalu tentang teori dan hubungan?
Rupanya, orang yang bilang,
“lebih baik sakit gigi daripada sakit hati” belum pernah sakit gigi!